Rabu, 06 April 2011

HADITS MUDRAJ dan MAZID

MUDRAJ (sisipan)

Pengertian
Mudraj berasal dari kata fi`il adraja yang berarti yang termasuk, tercampur, atau yang dicampurkan. Sedangkan menurut istilah adalah sebuah hadis yang asal sanadnya berubah atau matannya tercampur dengan sesuatu yang bukan bagiannya tanpa ada pemisah. Sedangkan menurut istilah Ilmu Hadis, mudraj adalah seorang rawi menyisipkan pernyataannya sendiri kedalam satu matan hadis yang diriwayatkannya tanpa memisahkan antara matan hadis dan ucapan rawi tersebut sehingga oleh rawi dibawahnya dikira bagian dari matan hadis Nabi.

Macam-macam hadits mudraj
  1. Mudraj pada Sanad
Banyak sekali kemungkinan terjadi, misalnya:
  1. sekelompok jamaah meriwayatkan sautu hadits dengan beberapa sanad yang berbeda, kemudain diriwayatkan oleh seorang perawi dengan menyatukan ke dalam satu sanad dari beberapa sanad tesebut tanpa menerangkan ragam dan perbedaan sanad.
  2. Seseorang meriwayatkan sebuah matan yang ditak sempurna, kesempurnaannya ia temukan pada sanad yang lain. Kemudian ia meriwayatkannya dengan menggunkan sanad yang pertama.
  3. Seseorang mempunyai dua matan yang berbeda dan dua sanad yang beberda pula, kemudian ia meriwayatkannya dengan salah satu sanadnya saja
  4. Seorang perawi menyampaikan periwaytan, pada saat menyampaikan terhalang oleh suatu gangguan, kemudian berbicara dari dirinya sendiri. Diantara pendengarnya ada yang mengira pembicaraan tersebut adalah matan hadits, kemudian dia meriwayatkannya.
Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi dari jalan Ibnu Mahdi dari ast-Tsauri dari Wasil al Ahdab dari Mansur al a’masy dari Abu Wa’il dari Amer bin Syurahbil dari Ibnu mas’ud r.a, katanya aku telah bertanya kepada Rasulullah tentang dosa yang paling besar, kataku: “mana dosa yang paling besar?”. Nabi menjawab:”engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Allah yang menciptakan engkau”, aku bertanya: “kemudian apa?”. Nabi menjawab “engkau membunuh anak engkau karena khawatir akan makan dia bersama engkau”. Aku bertanya pula: “kemudian apa?”. Nabi menjawab: :engkau menzinai istri tetangga engkau”.
Dalam sanad ini terdapat sanad yang disisipkan yaitu Amer bin Syurahbil, sebenarnya Abi Wail menerima langsung dari Ibnu Mas’ud r.a dengan tidak memakai perantara Amer ibn Syurahbil.

2. Mudraj pada Matan
Pada umumnya mudraj pada matan merupakan penjelasan ataupun keterangan Rawi terhadap lafadz-lafadz yang gharib (asing) dari matan hadis Nabi. Mudarj pada Matan adalah, sebagian perawi telah memasukkan perkataannya dalam hadis Rasulullah saw. Baik itu pada awal hadis, pertengahan ataupun terakhir. Sehingga menimbulkan dugaan para pendengar bahwa itu adalah bagian dari hadis Nabi.
a. mudraj pada awal hadis
Contohnya hadis tentang wudhu`:

ما رواه الخطيب من رواية أبي قطن وشبابة عن شعبة عن محمد بن زياد عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “أسبغوا الوضوء، ويل للأعقاب من النار”

“Diriwayatkan oleh Khatib Al Baghdadi, Riwayat Abu Qathan dan Syababah dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziad dari Abu Hurairah berkata Rasululllah saw. Telah bersabda sempurnakanlah wudhumu, neraka wail bagi tumit-tumit (milik orang-orang yang tidak membasuh dengan sempurna ketika berwudhu)".

Kata-kata أسبغوا الوضوء "Sempunakanlah wudhumu" pada hadis tersebut bukanlah sabda Nabi, melainkan kata-kata Abu Hurairah. Dan kata-kata tersebut oleh penerima riwayat dikira bagian dari matan hadis Nabi.

Periwayat hadis tersebut ialah Khatib Al Baghdadi yang menerimanya dari dua sanad, yakni dari sanad Abu Qathan dan sanad Syababah menurutnya kedua periwayat itu ragu-ragu apakah kata-kata tersebut merupakan bagian dari sabada Nabi ataukah kata-kata dari Abu Hurairah. Dalam hal ini al-Khatib telah meneliti dan menjelaskan bahwa hadis yang diterimanya mengandung idraj.

Dan ini dapat dibuktikan dengan adanya riwayat yang semakna yaitu hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Adam dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziad dari Abu Hurairah dengan lafadz:

عن أدم عن شعبة عن سعيد بن زياد عن أبي هريرة قال: أسبغوا الوضوء فإن أبا القاسم صلى الله عليه وسلم قال: “ويل للأعقاب من النار”


“Dari Adam dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziad dari Abi Hurairah berkata: sempurnakanlah wudhu`mu karena sesungguhnya Abu al-Qasim SWA telah bersabda: Neraka Wail bagi tumit-tumit (milik orang-orang yang tidak memebasuh dengan sempurna ketika berwudhu". (HR Bukhari)


b. mudraj pada pertengahan hadis

Contoh : Hadis Aisyah tentang permulaan turunnya wahyu:

حدثنا يحي بن بكير قال: حدثنا الليث عن عقيل عن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عائشة أم المؤمنين أنها قالت كان أول ما بدئ به رسول الله صلى الله عليه وسلم من الوحي الرؤيا الصالحة في النوم. فكان لا يري رؤيا إلا جاءت مثل فلق الصباح ثم حبب إليه الخلاء فكان يخلو بغار حراء يتحنث فيه (وهو التعبد) الليالي أولات العدد قيل أن ينزع إليه…”


Dari Aisyah Ummul Mukminin, dia berkata. Wahyu yang pertama kali disampaikan kepada Rasulullah saw adalah mimpi yang benar dalam tidur, beliau tidak melihat mimpi kecuali beliau menyaksikan sesuatu seperti pagi hari. Kemudian ditanamkan rasa cinta dalam dirinya utnuk berkhalwat di Gua Hira, beliau berkhwalwat disana untuk bertahannus yakni beribadah… didalamnya selama beberapa malam sebelum kembali kepada keluarganya…”

وهو التعبد "yakni beribadah" kata-kata ini adalah Idraj kata-kata Aisyah, merupakan penafsiran dari kata yatahannast yang oleh penerima riwayat yakni Al-Zuhry disertakan dalam matan hadis.


c. Mudraj pada akhir hadis
Contohnya: Hadis Abu Hurairah tentang hamba yang baik dalam beribadah;

عن أبي هريرة قال صلى الله عليه وسلم : للعبد المملوك أجران، والذي نفسي بيده لو لا الجهاد فى سبيل الله والحج وبر أمي لأحببت أن أموت وأنا مملوك


Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah saw telah bersabda : Hamba sahaya mendapat dua pahala demi Dzat dan jiwaku ada ditangannya, seandainya bukan karena jihad fi sabilillah, haji dan berbakti kepada Ibuku, niscaya aku ingin mati dalam keadaan menjadi hamba sahaya.

Awal kata dari hadis diatas adalah sabada Nabi, kemudian selebihnya sampai akhir hadis itu adalah Idraj. Karena mustahil nabi mengharapkan dirinya menjadi hamba sahaya sementara prediket hamba itu tidak relevan dengan perediket kenabian.

Maka menurut Nuruddin It`r kata-kata والذي نفسي بيده sampai akhir hadis itu adalah Idraj dari perkataan Abu Hurairah.

c) Hukum Hadis Mudraj

Mudraj termasuk salah satu hadis dhaif, karena memasukkan dengan sesuatu yang bukan hadis, seandainya kata-kata yang di Idraj itu shahih atau hasan karena boleh jadi datang melalui sanad yang shahih, hal itu juga tidak mengubah ke-dhaifannya karena sebagai sesuatu yang bercampur dalam sebuah hadis yang padanya terjadi Idraj. Padahal jelas bahwa ia bukan bagian dari hadis itu.

Adapun Idraj yang terjadi disebabkan kesalahan dan kelupaan periwayat yang tidak tercela, kecuali ia banyak melakukannya, maka yang demikian merupakan kecacatan kedhabitannya.

Sedangkan Idraj yang terjadi karena disengaja, maka Ijma` ulama ahli hadis dan fiqh menyatakan sebagai perbuatan haram. Adapun jika Idraj yang dimaksudkan karena sebagai penafsiran atau penjelasan dari kata-kata yang asing maka hal itu dibolehkan.


Tidak bisa dinilai sebagai idraj sampai ada bukti, sehingga hukum asalnya adalah dianggap bagian dari matan hadits. Hadits mudraj diketahui melalui beberapa jalan :

a. Terdapat Hadits (yang terpisah) dalam riwayat lain.
b. Adanya penetapan terhadap Hadits tersebut dari para Imam.
c. Pengkuan rawi itu sendiri bahwa dia telah menyusupkan perkataan.
d. Kemustahilan bahwa hal itumerupakan ucapan Rasulullah SAW.

MAZID (tambahan)

Kata Ziyadah menurut bahasa berarti tambahan, sedangkan menurut istilah ilmu hadis Ziyadah pada matan ialah tambahan lafadz ataupun kalimat yang terdapat pada matan, tambahan itu dikemukakan oleh rawi tertentu, sedangkan rawi yang lain tidak mengemukakannya.

Macam-macam Ziyadah

Menurut Ibn Shalah Ziyadah ada tiga macam, yaitu:
1. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang Tsiqah yang isinya bertentangan/menyelisihi dengan yang dikemukakan oleh periwayat-periwayat lain yang juga Tsiqah. Ziyadah tersebut ditolak.
2. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqah yang isinya tidak bertentangan dengan yang dikemukakan oleh periwayat-periwayat lain yang juga Tsiqah. Ziyadah tersebut diterima (saling melengkapi).
Contoh :
Dari Al A'raj, dari AbuHurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda "Apabila anjing minum di bejalan salah seorang dari kamu maka hendaklah ia cuci bejana itu tujuh kali" (HR Muslim)
Dari Abi Razin dan Abi Shalih dari Abu Hurairah,ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, "Apabila anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka hendaknya ia buang isinya, kemudian hendaklah ia mencucinnya tujuh kali" (HR Muslim)
Dari Abdullah Bin Mughaffal ia berkata, "....dan Nabi bersabda, "Apabila anjingmenjilat bejana, maka hendaklah kamu cuci dia tujuh kali dan hendaklah kamu lumurkan bejana itu yang kedelapan dengan pasir" (HR Muslim)
Ketiga hadis diatas semua rawinya adalah tsiqoh dan sama kuat, karena tambahan dari masing-masing riwayat tidak bertentangan maka semuanya diterima (saling melengkapi), maka makna gabungan dari ketiga hadis tersebut menjadi : Apabila seekor anjing menjilat atau minum dari suatu bejana, hendaklah dibuang isinya, lalu dicuci dengan air tujuh kali dan yang ke delapan dengan dicampur tanah".

3. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqah berupa sebuah lafadz yang mengandung arti tertentu, sedangkan para periwayat lain yang tsiqah tidak mengemukakannya, Ibn Shalah tidak mengemukakan penjelasan tentang kedudukan Ziyadah yang ketiga ini.

Jika tambahan itu datang dari rowi yang tidak tsiqoh. Maka tidak diterima dikarenakan riwayat rowi tersebut jika sendirian itu tidak diterima, maka tambahan yang dia berikan pada riwayat orang lain lebih layak untuk ditolak.

Jika datang dari rowi yang tsiqoh : Jika bertentangan dengan riwayat lain yang jalannya lebih banyak atau periwayatannya lebih tsiqoh, maka tidak diterima dikarenakan riwayat ini termasuk hadits yang syadz. Misal :Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dalam Al Muwattho bahwasannya Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma jika memulai sholat, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu. Abu Daud berkata, “Tidak disebutkan ‘beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu’ oleh seorang pun selain Malik menurut sepengetahuanku.”

Dan riwayat yang shohih dari Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma, marfu’ kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan pundaknya jika memulai sholat, dan ketika ruku’, ketika bangkit dari ruku’ tanpa dibeda-bedakan.

Jika tidak bertentangan dengan rowi selainnya maka diterima, dikarenakan didalamnya terdapat tambahan ilmu. Misal:Hadis Umar radhiallahu ’anhu bahwasannya beliau mendengar Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu sampai selesai dan sempurna kemudian mengucapkan:’ Asyhadu allaa ilaaha illallah , wa anna muhammadan ’abdullahi wa rasuuluh’ melainkan dibukakan baginya pintu syurga yang berjumlah delapan, dia boleh masuk dari pintu mana yang dia inginkan.”

Hadits ini telah diriwayatkan oleh Muslim dari dua jalan periwayatan. Pada salah satu dari keduanya terdapat tambahan (وحده لا شريكله) setelah (إلاّ اللّه).

Sabtu, 02 April 2011

qaidah fiqhiyyah


Qowaid al Fiqhiyyah

Qawaid fiqiyah

Makna al qowai'd

Secara bahasa Kata :"qawa'id" sebagaimana dijelaskan oleh ahlul ilmi " dia adalah jama dari kata"qaidah " dan maknanya adalah : apa-apa yang dibangun diatasnya sesuatu yang lain ( lihat qowaidul qowaid hal : 4) adapun tambahan dari saya sendiri: artinya pondasi / dasar misal jika dikatakan قاعدة العمارة / qoidatul imaroh artinya pondasi bagunan, bisa juga bermakna : prinsip dan asas ( metode/peraturan) , misal قاعدة البلاد أو الحكومــة / qoidatul bilad au hukumah artinya prinsip /peraturan negara atau pemerintah.

Secara Istilah untuk itu berkata ahlul ilmi adapun qaidah secara istilah syar'ii adalah : perkara yang menyeluruh ( universal ) yang di kembalikan kepadanya cabang-cabang yang banyak.Dan berkata sebagian yang lain : qoidah adakah perkara yang menyeluruh dikembalikan kepadanya cabang-cabang yang banyak,

maka dari uraian tersebut bahwasanya makna qaidah adalah : sebuah ungkapan yang terdiri dari beberapa kata akan tetapi masuk didalamnya pembahasan yang luas, karena sesunggunya pembahasan inti dari qaidah adalah untuk mengumpulkan cabang-cabang yang berbeda-beda.

Kaidah-kaidah Fiqih adalah Kaidah-kaidah syar’iyah yang berfungsi untuk memudahkan mujtahid memudahkan sesorang menistimbatskan hukum yang bersesuaikan dengan tujuan syara’ dan kenashlahatan manusia terhadap suatu masalah dengan cara menggabungkan masalah yang serupa dibawah satu kaidah.

Fiqih adalah merupakan kumpulan berbagai macam aturan hidup yang begitu luas karena mencakup berbagai huruf furu’, karena itu perlu adanya usaha untuk mengelompokan hukum-hukum tersebut dalam bentuk kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’menjadi beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa.

Sesunguhnya cabang-cabang masalah Fiqih itu hanya dapat dikuasai dengan kaidah-kaidah Fiqih. Maka menghafal kaidah –kaidah itu termasuk sebesar-besar manfaat.kaidah-kaidah Fiqih adalah sebagai jalan untuk mendapatkan mashlahat dan menolak mafshadah. menjelaskan mashlahat-mashlahat ketaatan muamalat dan semua perbuatan dalam usaha hamba untuk memperolehnya, menerangkan maksud dari pelanggaran/ kemadharatan agar bisa dihindari, menunjukkan mashlahat-mashlahat ibadat agar hamba itu dapat melakukan sebaik mungkin, menjelaskan mashlahat-mashlahat mana yang harus didahulukan dari yang lain serta mafshadat/ madharat mana yang harus dikemudiankan dan menerangkan apa yang termasuk dibawah (kemampuan) usaha hamba bukan hal yang diluar kemampuannya dan tidak ada jalan untuk menuju kepadanya. kaidah-kaidah itu besar manfatnya serta mendalam pengaruhnya dalam membuat petunjuk hukum-hukum furu’ bila kita memerlukan hujjah dan dalil serta mengistimbatskan hikmah, maka para fuqoha’ memperhatikan sungguh kaidah-kaidah ini.


Perbedaan antara Qowaid Fiqihiyah dengan Qowaid Ushuliyah

Perbedaan-perbedaan yang ada antara Qowaid Fiqihiyah dengan Qowaid Ushuliyah:
  1. Obyek Qowaid Ushuliyah adalah dalil hukum, sedang Qowaid Fiqihiyah adalah perbuatan mukallaf.
  2. Ketentuan Qowaid Ushuliyah berlaku bagi seluruh bagiannya (juziyahnya) sedangkan Qowaid Fiqihiyah berlaku pada sebagian besar (Aghlabiah) juziyahnya.
  3. Qowaid Ushuliyah sebagai sarana istimbats hukum sedangakan Qowaid Fiqihiyah sebagai usaha menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman fiqih.
  4. Qaidah ushuliyyah bisa bersifat prediktif, sedangkan qaidah fiqih bersifat wujud setelah ketentuan furu’

Jika kaidah Ushuliyah dicetuskan dan disusun oleh ulama ushul sedangkan kaidah Fiqihiyah oleh ulama Fiqih namun aplikasi kaedah tersebutselalu berkaitan tidak berdiri sendiri mengingat kaidah ushul memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya sedangkan Qowaid Fiqhiyah merupakan operasionalisasi dari kaidah ushul tersebut sehingga kadang-kadang terjadi seperti tumpang tindih mana yang disebut kaidah Ushuliyah dan mana yang disebut Fiqhiyah.
Yang jelas keduanya merupakan patokan dalam mengistimbatskan hukum.
Jadi suatu kaidah apabila digunakan sebagai dalil pembantu untuk mengistimbatkan hukum dari dalil tafshili maka disebut kaidah Ushuliyah dan apabila melihat kaidah tersebut atas dasar obyeknya yaitu perbuatan mukallaf dan memuat hukum bagi sejumlah perbuatan yang serupa maka dinamakan kaidah Fiqhiyah.


Kaidah Al Khams Fiqhiyyah

Kaidah Fiqhiyah

Pengertian, sumber, cabang dan aplikasi kaidah asasiyah

Qaidah Pertama

الأمور بمقاصدها

Maksudnya adalah setiap perkara bergantung pada tujuannya. Dengan kata lain, bahwa setiap mukallaf dan berbagai bentuknya serta hubungannya, baik dalam ucapannya, perbuatan dsb bergantung pada niatnya. Dengan kata lain, niat dan motivasi yang terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan suatu perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status hukum amal yang ia lakukan.

Sumber pengambilan Firman Allah SWT dalam surat Al-Bayyinah ayat 5:

وماامروا إلاليعبدالله محلصين له الدين حنفاء

Artinya: “Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dungeon memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus.”
contoh lainnya adalah Firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 145:

ومن يرد ثواب الدنيا نؤته منها ومن يرد ثواب الاخرة نؤته منها

Artinya:”Barangsiapa menghendaki pahala dunia Kami berikan pahala itu dan barang siapa menghendaki pahala akherat Kami berikan kepadanya pahala itu. Dan Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

Cabang-cabangnya
1. Qaidah

مالايشترط التعارض له جملة وتفصيلا إذا عينه وأخطأ لم يضر

Artinya:”Suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan,baik secara global atau terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahannya tidak membahayakan.”

2. Qaidah

وما يشترط فيه التعارض فالخطأ فيه مبطل

Artinya:”Suatu amal yang disyariatkan penjelasannya, maka kesalahannya membatalkan perbuatan tersebut.”

3. Qaidah

ومايجب التعارض له جملة ولايشترط تعينه تفصيلا اذا عينه فأخطأ ضر

Artinya:”Suatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan secara terperinci, karena bila disebutkan secara terperinci dan ternyata salah maka kesalahannya membahayakan.”

4. Qaidah

النية فىاليمين تخصص الفظ العام ولاتعم الخاص

Artinya:”Niat dalam sumpah menkhususkan lafadz umum dan tidak pula menjadikan umum pada lafadz yang khusus.”

5. Qaidah

مقاصد الفض على نية اللافظ إلافىموضع واحد وهو اليمين عند القاض فانها على نية القاض

Artinya:”Maksud dari suatu lafadz adalah menurut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam 1 tempat, yaitu dalam sumpah dihadapan hakim. Dalam keadaan demikian maksud lafadz menurut niat hakim.”

6. Qaidah

العبرة فى العقود المقاصد والمعانى لاللألفاظ والمعانى

Artinya:”Yang dimaksud dalam bentuk akad adalah maksud / makna bukan lafadz atau bentu-bentuk perkataan.”

Contoh Aplikasi

Diantaranya adalah:
  1. Dalam sholat tidak disyaratkan niat menyebutkan jumlah rakaat, maka bila seoarang muslim berniat melaksanakan shalat Maghrib 4 rakaat, tapi ia tetap melaksanakan 3 rakaat maka sholatnya tetap sah.
  2. Seorang yang akan melakukan sholat Duhur, tapi niatnya menunaikan sholat ashar, maka sholatnya tidak sah.
  3. Seseorang bersumpah tidak akan berbicara dengan seseorang, dan maksudnya dengan ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada ahmad saja.


Qaidah kedua

 اليقين لايزال بالشك

“Sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan adanya sesuatu
keraguan”
Jadi maksud qaidah ini ialah: Apabila seseorang telah meyakini suatu perkara, maka yang telah yakin ini tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
Berdasarkan qaidah ini, manakala seseorang menjumpai sutu keraguan mengenai hukum suatu perkara, maka diperlakukan hokum yang telah ada atau yang ditetapkan pada masa yang telah lewat, sampai ada hukum lain yang merubahnya, karena apa yang telah ada lebih dapat diyakini.

Qaidah ini disimpulkan berdasarka hadits:

اذاشك احدكم فى صلاته فلم يدر كم صلى اثلاثا ام اربعا فليطرح الشك واليقين على مااستيقن

“Jika salah seorang diantara kamu ragu-ragu dalam mengerjakan sholat dan tidak tahu berapa rakaat ia telah sholat. Apakah telah mengerjakan tiga atau empat rakaat, maka hendaklah menghilangkan keraguan itu dan hendaknya menetapkan dengan apa yang diyakininya”.(HR.Muslim)

Cabang-cabangnya

1. Qaidah

الاصول بقاء ما كان على ما كان

“Yang menjadi dasar adalah tetapnya apa yang telah ada atas apa yang telah ada”.

2. Qaidah

الاصل براءة الذ مة

“ Asal itu bebas dari tanggungan”

3. Qoidah

الاصل فى اللاشياء الاباحة

“ Asal dari sesuatu adalah kebolehan.”

4. Qaidah

الاصل فى الاباحة التحريم

“ Asal dari dalam kemubahan adalah keharaman.”

5. Qaidah

الاصل فى الكلام الحقيقة

“ Asal dari ucapan adalah hakikat ucapan tersebut.”

Contoh aplikasinya.

Apabila seseorang sedang melakukan sholat Ashar, kemudian dia ragu apakah sudah empat rakaat atau baru tiga rakaat maka ambillah yang lebih yakin yaitu tiga rakaat. Namun, sebelum salam disunnahkan sujud sahwi dua kali.


Qaidah Ketiga

المشقة تجلب التيسير

Pengertian
Arti dari qaidah ini ialah suatu kesusahan menharuskan adanya kemudahan. Maksudnya, suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam pelaksanaannya / memadharatkan dalam pelaksanaannya, baik badan, jiwa, /harta seorang mukallaf , diringankan sehingga tidak memadharatkan lagi. Keringanan tsb dikenal dengan rukhsah.

Sumber kaidahny adalah Firman Allah SWT dalam surat Al- Baqarahayat 185:

يريدالله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر

Artinya:”Allah SWT, menhendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”

Firman Allah SWT dalam surat Al Haj ayat 78:

وماجعل لكم فى الدين من حرز

Artinya:”Dan Dia tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan.”

Hadis riwayat Abu Hurairah:

الدين يسر احب الدين الى الله الحنيفية السمحة

Artinya:”Agama itu memudahkan, agama yang disenangi oleh Allah SWT adalah agama yang benar dan mudah.”

Cabang-cabang

1. Qaidah

اذاضاق الامر اتسع واذا اتسع المر ضاق

Artinya:”Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas sebaliknya jika suatu perkara itu luas, maka hukumnya menjadi sempit.”

2. Qaidah

كل ماتجاوزحده انعكس الى ضده

Artinya:”Semua yamg melampaui batas, maka hukumnya berbalik kepada kebalikkannya.”

3. Qaidah

الرخص لاتناط بالمعاصى

Artinya:”Rukhsah-rukhsah itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.”

4. Qaidah

الرخص لاتناط بالشك

Artinya:”Rukhsah itu tidak dapat disangkutputkan dungeon keraguan.”

Contoh Aplikasi

  1. Boleh berbuka puasa ketika berpergian atau sakit.
  2. Dibolehkan tidak ada ijab qabul dalam jual barang-barang yang tidak berharga.
  3. Tidak ada untuk melakukan kemaksiatan tapi harus menghindarinya.


Qaidah keempat

 الضرر يزال

“Kemudhorotan itu harus dihilangkan”
Redaksi kata-kata dalam qaidah ini, menunjukkan bahwa kemudhoratan yang telah terjadi wajib dihilangkan.
Sedangkan arena daripada qaidah ini sangat luas, mencakup sebagian besar dari masalah-masalah fiqh. Diantaranya ia mengembalikan barang telah dibeli, karena adanya cacat, disyari’aqtrkannya berbagai macam khiyar, syuf’ah dan hudud.

Qaidah ini berasal dari hadits:

لاضرارولاضرار (رواه ابن ماجه)

“Tidak boleh membuat kemodhoratan dan membalas dengan kemudhoratan”. (HR. Ibnu Majah).

Cabang-cabangnya

1. Qaidah

الضررلا يزال بمثله

“Kemudhorotan tidak boleh dihilangkan dengan kemudhorotan yang sebanding”.

2. Qaidah

الضرورات تبيح المحظورات

“Keadaan dharurat itu membolehkan larangan-larangan”.

3. Qaidah

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

“ Menolak kemafsadatan didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan”

Contoh aplikasinya

  1. Tidak boleh bagi seseorang yang sedang kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga akan mati kelaparan apabila makanannya hilang.
  2. Begitu juga dilarang bagi dokter mengobati pasien yang memerlukan darah, dengan mengambil darah orang lain yang apabila diambil darahnya akan mengalami penyakit kekurangan darah.


Qaidah kelima:

العادة محكمة

“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Maksud dari qaidah ini adalah suatu kebiasaan bisa dijadikan patokan hukum. Kebiasaan dalam istilah hukum sering disebut sebagai urf atau adat.
Adapun sampai di mana sutu peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dapat disebut adap.

Para fuqaha memberikan definisi sebagai berikut:

العادة ما تعاررفه الناس وساروا عليه فى مجرى حياتهم سواءكان قولا ام فعلا

“Adat ialah segala yang telah dikenal manusia, sehingga hal itu telah menjadi suatu kebiasaan yang berlaku dalamkehidupan mereka baik betupa perkataan maupun pebuatan”.

Qaidah ini ditetapkan berdasarkan firman Allah:

واءمر بالعرف واعرض عن الجاهلين

“Dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang yang bodoh”. (al-A’rof: 199).

Cabang-cabangnya

1. Qaidah

المعروف عرفا كالمشروط شرط

“Yang baik itu menjadi ‘urf sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.”

2. Qaidah

الثابت بالمعروف كالثابت بالنص

“Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash.”

Contoh aplikasinya

  1. Menjual buah di pohon adalah tidak boleh menurut qiyas karena tidak jelas jumlahnya, tapi karena sudah menjadi kebiasaan ( adat ) maka ulama membolehkannya.
  2. Mereka yang mengajarkan al- Qur’an dibolehkan menerima gaji, hal itu antara lain agar al-Qur’an tetap eksis dikalangan umat islam.

Kelima kaidah itu diringkas oleh Ezzudin Ibn Ab Salam dungeon “Menolak kerusakan dan menarik kemashlahatan”.