Jumat, 03 Juni 2011

hadis mawdhu'

  1. Pendahuluan
Dasar hukum islam dan pedoman dalam agama islam adalah alquran dan hadis. Alquran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad melalui perantara malaikat jibril yang disamapaikan dengan jalan mutawatir, membacanya bernilai pahala, dimulai dari surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat an-nas. Sedangkan hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan.
Hadis memiliki banyak jenis yang dilihat dari berbagai sudut pandang seperti dari segi diterima atau tidaknya, dari segi ketersambungan sanad, dari segi kualitas perawinya,. Sekarang ini akan membahas hadis dari segi diterima atau tidaknya suatu hadis yang pembahasannya banyak sekali. Dsini akan membahas hadis mawdhu’, mulai dari pengertian, permasalahan dsb.
  1. Pengertian Hadis Mawdhu’
Secara bahasa merupakan bentuk isim maf’ul dari kata وضع يضع yang memilki arti sesuatu yang diletakkan, dibiarkan, menggugurkan, ditinggalkan, mengada-ngada dan dibuat-buat[1].
Secara istilah hadis mawdhu’ adalah hadsi yang tidak bersumber dari Rasulullah atau dengan kata lain suatu perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan yang kemudian dinisbatkan kepada Rasulullah oleh seorang yang pembohong dan menjadi hadis yang paling buruk dan jelek diantara hadis dhaif lainnya[2].
  1. Sejarah Awal terjadinya hadis mawdhu’
Sejak masa nabi dan masa khalifah al-rasyidun atau sebelum terjadi konflik antara kelompok pendukung Ali dan Muawiyah, hadis masih bersih dan murni, tidak ada pembauran dengan kebohongan dan perubahan. Menurut Ahmad Ammin, bahwa hadis mawdhu’sudah terjadi pada masa Rasul masih hidup sedangkan menurut ulama ahli hadis, pemalsuan hadis terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib karena disusupi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab pada saat terjadinya pertentangan antara Ali dengan muawiyah bin abi sufyan yang mengakibatkan terjadinya perpecahan sehingga muncul berbagai aliran keagamaan dan politik[3]. Dalam sejarah dikatakan bahwa yang pertama sekali membuat hadis palsu adalah syi’ah dan yang paling banyak diantara mereka adalah syi’ah rafidhah[4].
  1. Sebab-sebab terjadinya hadis mawdhu’
1.      Faktor politik
Syi’ah pertma sekali meciptakan hadis mawdhu’untuk memusuhi lawan politiknya dan perbuatan ini tidak memuliakan Ali melainkan menambah jatuhnya Alidikarenakan merek tidak puas dengan hadis yang menerangkan tentang keutamaan Ali. Karena aliran syi’ah membuat hadis untuk meningkatkan derjat mereka maka aliran-aliran lain pun membuat hadsi tentang aliran mereka dan keutamaan pemimpin mereka[5].
2.      Dendam musuh islam
Islam tersebar kesluruh penjuru dunia setelah meruntuhkan dua kerajaan besar yaitu romawi dan Persia sehingga mereka tidak mampu melawan secar terang-terangan maka mereka meracuni islam dengan memasukkan hadis palsu yang dibuat oelh kaum zindik.
3.      Perselisihan mazhab dan ilmu kalam
Pengikut mazhab berani melakukan pemalsuan hadis dikarenakan dorongan sifat fanatic dan ingin menguatkan mazhabnya masing-masing. Contohny adalah hadis tentang mengangkat tangan ketika salat[6].
من رفع يديه فى الصلاة فلا صلاة له
“barang siapa yang mengangkat tangannya ketika shalat, maka shalatnya tidak sah”
4.      Membangkitkan gairah beribadah tanpa mengerti apa yang dilakukan
Banyak ulama yang mermbuat hadis palsu dikarenakan mereka ingin mendekatkan diri kepada Allah dan mereka menganggap hal tersebut adalah usaha yang benar. Mereka mengatakan “ kami berdosa semata-mata karena untuk menjunjung tinggi nama Rasulullah saw dan bukan sebaliknya”
Diantara mereka adalah maisarah bin abdi rabbihi ibnu hibban telah meriwayatkan didalam kitabnya ad-Dua’afa dari ibnu mahdi berkata, ‘aku bertanya kepada maisarah bin abdi rabbaihi: dari mana engkau mendatangkan hadis-hadis seperti ini, barangsiapa yang membaca ini maka ia akan memperoleh itu? Ia menjawab: ‘aku sengaja membuatnya untuk memberi dorongan kepada manusia’[7].
5.      Cerita dan nasehat
Sebagian tukang cerita tidak hanya memiliki keinginan untuk mengumpulkan orang, untuk itu mereka membuat hadis palsu agar orang tertarik dan membuat mereka lega, menggerakkan keinginan mereka dan memberi harapan bagi yang mendengarkannya. Selain itu mereka juga mempunyai keinginan untuk mencari penghidupan dari cerita dan nasehat yang mereka palsukan tersebut. Salah satu contoh riwayat tentang kedustaan para tukang cerita adalah yang diriwayatkan oleh abu ja’far muhammad ath-tahyalisyiy,
من قال لااله الا الله خلق الله من كل كلمة طيرا منقره من ذهب و رشه من مرجان
“Barang siapa yang mengucapkan kalimat La Ilaha Illallah, maka Allah akan menciptakan satu burung dari setiap katanya, yang paruhnya dari emas dan bulunya dari marjan”[8].

6.      Lobby dengan para penguasa
Para penjilat berusaha untuk mendekati para pemimpin pada suatu massa dengan cara memalsukan hadis untuk menyenangkan hati para penguasa dan mencari legitimasi mereka, bahwa ungkapan itu hadis Rasulullah saw. Misalnya yang dilakukan Ghiyats bin Ibrahim an-Nakha’i ketika masuk ke istana al-Mahdi yang sedang main burung merpati. Ghiyats berkata Rasulullah saw bersabda:
لاسبق الا نصل او خف او حافر او جناح
“Tidak ada perlombaan kecuali pada anak panah atau unta atau kuda atau pada burung”[9].
  1. Hukum memalsukan dan meriwayatkan hadis mawdhu’
Hukum memalsukan hadis menurut para ulama adalah haram secara mutlak, tidak ada perbedaan pendapat diantara kaum muslim. Menciptakan hadis mawdhu’ sama halnya dengan mendustakan Rasulullah karena perbuatan itu dari penciptaan sendiri yang kemudian disandarkan kepada Rasulullah. Rasulullah sendiri telah memberikan ancam keras kepada siapa saja yang memalsukan hadis:
من كذب على متعمدا فليتبوء مقعده من النار
“barang siapa yang mendustakanku dengan sengaja, maka hendaklah bersiap-siap menempatkan dirinya di neraka”[10].
Mereka tidak membolehkan meriwayatkan sedikitpun hadis palsu, baik berkenaan dengan kisah, tarhib, targhib, hukum-hukum ataupun tidak, karena Rasullah bersabda:
من حدث عنى بحديث يرى انه كذب فهو احد الكاذبينٌ
“siapa saja yang meriwayatkan dariku sebuah hadis dan terlihat bahwa hadsi itu dusta, maka ia juga termasuk satu diantara para pendusta” (HR. Muslim)[11].
  1. Tanda-tanda hadis mawdhu’
Tanda-tanda hadis mawdhu’ hanya dapat diketahui oleh para ahli hadis yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang hadis, cukup muthala’ah, tajam otaknya, kuat fahamnya serta mempunyai kebiasaannya yang kuat. Diantara tanda-tandanya adalah[12]:
1.      Hadisnya mengandung susunan yang kacau yang tidak mungkin disabdakan Nabi.
2.      Mengandung perkataan yang patut mendapat ejekan
3.      Isinya bertentangan dengan ketetapan agama yang kuat dan terang
4.      Adanya penyaksian yang sah yang menunjukkan kepalsuannya.
5.      Nyata-nyata bertentangan dengan Alquran
Ciri-ciri yang terdapat pada sanad antara lain adalah pengakuan dari sipembuat itu sendiri, qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadis mawdhu’, qarinah yang berpautan dengan tingkah laku.
Ciri-ciri dari segi matannya adalah maknanya bertentangan dengan Alquran dan hadis mutawatir, dengan ijma’ dan dengan logika akal sehat[13], lemah susunan lafal dan maknanya, rusak maknanya, menyalahi realita sejarah, hadis sesuai dengan mazhab perawi, mengandung pahala yang berlebihan bagi amalan yang kecil, sahabat dituduh menyembunyikan hadis[14]
  1. Upaya ulama dalam menanggulangi hadis mawdhu’
Usaha para ulama dalam memelihara sunnah dan membersihkannya dari pemalsuan hadis, ialah:
1.      Mengisnadkan sanad
2.      Meningkatkan perwalatan mencari hadis dari suatu kota ke kota yang lain untuk menemui para sahabat yang meriwayatkan hadis
3.      Mengambil tindakan kepada para pemalsu hadis
4.      Menjelaskan tingkah laku rawi-rawinya, perawi yang tidak boleh diambil hadisnya adalah orang yang mendustakan Rasulullah, orang yang sering berdusta, ahli bid’ah, orang zindiq, fasik.
5.      Membuat ketentuan-ketentuan umum tentang klasifikasi hadis
6.      Membuat ketentuan-ketentuan untuk mengetahui ciri-ciri hadis mawdhu’[15].


  1. Kitab-kitab hadis mawdhu’
1.      Al-Maudhu’at, karangan ibn al-Jauzi-beliau paling awal menulis dalam ilmu ini
2.      Al-La’ali al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhua’ah, karya as-Suyuthi
3.      Tanzihu asy-Syari’ah al-Ma’rufah ‘an al-Ahadits asy-Syani’ah al-Maudhu’ah, karya Ibnu ‘Iraq al-Kittani
4.      Sisilah al-Ahadits adh-Dha’ifah, karya al-Albani[16].
  1. Penutup
Kesimpulan dari makalah ini adalah bahwa hadis mawdhu’ itu adalah hadis yang paling rendah derajatnya karena dia adalah hadis yang dibuat sendiri dan disandarkan kepada rasulullah dengan jalan berdusta atas nama rasulullah. Banyak faktor yang mendorong seseorang dalam memalsukan hadis baik itu untuk kebaikan maupun untuk mencari keuntungan pribadi namun apapun yang dilakukan tersebut tetaplah salah.
Demikian makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas syarat ujian akhir semester, pemakalah kira ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam menyampaikan maksud dari pembahasan tentang hadis mawdhu’ ini. Pemakalah minta kritik dan sarannya yang membangun untuk bisa membuat makalah yang lebih baik lagi untuk selanjutnya.


Daftar Pustaka

Hasan, A. Qadir, Ilmu Mushtalah Hadits, Bandung: cv. Diponegoro, 2007
Al-Mas’udi, Hafizh Hasan, Minhatu al-Mughits, penerjemah, Fadlil Sa’id an-Nadwi, Surabaya, al-Hidayah,
An-Nawawi, Imam, Dasar-dasar Ilmu Hadis, penerjemah Ali Mustafa Ya’qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009
Khan, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2008
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj, Ushul al-Hadits, Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, 2007
Al-qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushtalahul Hadits, Bandung: PT. Alma’arif
Ash-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, penerjemah tim Pustaka Firdaus Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. RajaGrafindo persada, 2008
Thaha, Mahmud, Ilmu Hadis Praktis, penerjemah, Abu Fuad, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010


[1] Khan, Abdul Majid, Ulumul Hadis ,Jakarta: PT. Amzah 2008. h. 199
[2] Ibid.
[3] Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj, Ushul al-Hadits, Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, 2007. h. 353
[4] Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008. h. 181
[5] Khan, Abdul Majid, Ulumul Hadis, h. 201
[6] Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushtalahul Hadits, Bandung: PT. Alma’arif. 1974 h. 180
[7] Thaha, Mahmud, Ilmu Hadis Praktis, penerjemah, Abu Fuad, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010. h. 85
[8] Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj, Ushul al-Hadits, h. 360
[9] Khan, Abdul Majid, Ulumul Hadis, h. 206
[10] Ibid. 207
[11] Al-khatib, Muhammad ‘Ajaj, Ushul al-Hadits, h. 364
[12] Hasan, A. Qadir, Ilmu Mushtalah Hadits, Bandung: cv. Diponegoro, 2007. h. 122
[13] Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushtalahul Hadits, h. 169-173
[14] Khan, Abdul Majid, Ulumul Hadis, h. 210-213
[15] [15] Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushtalahul Hadits, h. 181-183
[16] Al-Qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005, h. 149

Jumat, 08 April 2011

Sejarah Pemeliharaan Al-qur’an


Sejarah Pemeliharaan Al-qur’an

Pengertian Jam’ul Qur’an
Yang dimaksudkan dengan pengertian jam’ul Qur’an ( pengumpulan Al-Qur’an ) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut ini:
Pertama : Pengumpulan dalam arti hifdzuhu ( menghafalnya dalam hati ). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi. Nabi senantiasa mengerakan-gerakan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Qur’an ketika turun kepadanya sebelum Jibril selesai membacakannya, karena ingin menghafalkannya.
لاَتُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ * إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ * فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ * ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ * - القيامة : 16-19 -
“ Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (didadahmu) dan membuatmu pandai, membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaabnnya itu. Kemudian atas tanggungan kamilah penjelasannya (Q.S : Qiyamah : 16-19)
Kedua : Pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (Penulisan Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayatnya dan surat-suratnya, atau mentertibkan ayat-ayat semata dan setiap surat ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surat, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.
Pada Masa Rasulullah
Al-qur’an pada masa Nabi Muhammad
Pada periode pertama sejarah Al-qur’an dinyatakan bahwa ayat-ayat yang diturunkan kepada Nabi selain beliau nsendiri yang menghafalkannya dengan baik juga dihafalkan dan dicatat oleh sahabat.
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ  
17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
Mengumpulkan berarti memeliharanya didalam dadanya nabi dan mengumpulkan juga berarti menuliskannya ayat demi ayat menyusun surat demi surat hingga membentuk satu mushaf Al-quran. Semua adalah jaminan Allah kepada nabi muhammad jadi berarti allah sendirilah yang menjamin kemurnian Al-qur’an dan terpeliharanya AL-qur’an dengan baik semenjak turunya sampai hari ini dan insyaAllah sampai hari kiamat. Nabi sendiri aladah orang poertama yang menhafalkan Al-qur’an dan itu berarti beliau pertama kali mengumpulkan Al-qur’an dan memliharanya didalam ingatan beliau sekalip[un beliau tidak menulisnya. Para sahabat sepenuhnya mengikuti perintah Rasulullah apabila disuruh untuk menulis Alqur’an di pelepah korma, tulang-tulang dan sebagai.Kelompok pencatat Alqur;an ini banyak tapi 70 orang diantara nereka mati dikeroyok oleh musuh.

Dikalangan para ulama, termenilologi pengumpulan Al qur’an memiliki dua konotasi, yaitu konotasi penghafalan Al Qur’an dan konotasi penulisan Al qur’an.
1. Penghafalan Al qur’an
Nabi Saw adalah orang pertama yang menghfal Al qur’an. Tindakan Nabi Saw merupakan suri tauladan bagi para sahabatnya. Menurut imam Al Bukhori, para sahabat penghafal Al Qur’an antara lain : Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Mi’qal, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan, dan Abu Darda. Ada juga para sahabat perempuan yang hafal Al qur’an seperti Aisyah, Hafsah, Ummu Salah, dan Ummu Waraqa.

2. Penulisan Al qur’an

a. Masa Nabi Muhammad Saw.

Pada tahap ini penyandaran pada hafalan lebih banyak dari pada penulisan karena hafalan para sahabat sangat kuat dan cepat disamping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu, siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat saja, dia akan langsung menghafalnya atau menulisnya dengan sarana seadanya, seperti pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu, atau tulang belulang.
Nabi Muhammad Saw. juga mempunyai beberapa sekertaris dalam penulisan Al Qur’an yang tugasnya khusus mencatat ayat Al Qur’an, antara lain : Abu Bakar, Ustman bin Affan, Umar bin Khattab, Ali bin Abi thalib, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan, Khalid bin Walid, dan Muawiyyah.
Faktor pendorong penulisan Al qur’an ini yaitu :
·         Membukukan hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi Saw dan para sahabat
·         Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna.
·         Pada masa Nabi Muhammad Saw ini Al Qur’an tidak di tulis pada satu tempat, dengan dua alasan yaitu :
·         Proses penurunan Al Qur’an masih berlanjut, sehingga ada kemungkinan ayat yang turun belakangan “menghapus” redaksi dan ketentuan hukum ayat yang sudah turun dahulu
·         Penyusunan ayat dan surat Al Qur’an tidak bertolak pada kronologisnya, tetapi pada keserasian ayat atau surat satu dengan yang lain.

Pengumpulan Al-Qur’an pada masa nabi dapat dibagi pada dua katagori :
Pertama : Pengumpulan dalam dada berupa penghafalan dan penghayatan/ ekpresi.
Al-Qur’an ditunkan kepada Rasulullah SAW, dimana beliau dikenal seorang yang ummi ( tidak dapat membaca dan menulis ), oleh karena beliau seorang yang menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu turunnya wahyu dengan rasa rindu, lalu setiap yang turun lalu dihafal dan dipahaminya, persis seperti apa yang dijanjikan Allah SWT : sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya ( di dadahmu ), dan ( membuatmu pandai ), membacanya “. ( Al-qiyamah : 17 ).
Oleh karena itu beliau adalah orang yang hafal pertama dan merupakan contoh yang paling baik bagi para shahabat dan pengikutnya. Al-Qur’an diturunkan dalam proses selama dua puluh tahun kurang lebih, yang terkadang turunnya itu hanya satu ayat atau lebih bahkan sampai sepuluh ayat, atau tidak turun sama sekali. Dan setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam hati, sebab bangsa Arab secara kodrati memiliki kemampuan menghafal yang kuat. Hal itu karena pada umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita, syair-syair dan silsilah, mereka lakukan dengan menulis di dalam hati mereka.
Dalam kitab Shahihnya, Bukhari telah mengemukakan tentang adanya tujuh hafidz, melalui tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal bekas seorang budak, Abu Huzaifah, muaz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Sabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.
Kedua : Pengumpulan berupa catatan, penulisan dalam kitab maupun berupa ukiran.
Rasulullah telah mengangkat para penulis wahyu Qur’an dari shahabat-shahabat terkemuka, seperti Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Ubai bin Ka’b dan Zaid bin Abi Thalib. Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskan dan menunjukan tempat ayat tersebut dalam surat sehingga penulisan pada lembaran itu membantu menghafal di dalam hati. Dan tampa diperintahkan disamping itu mereka menulis ayat-ayat itu pada pelepah daun kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang-belulang binatang.
b. Masa khulafa’ur rasyidin

Masa Abu Bakar
Rasulullah berpulang ke Rahmatullah setelah beliau menyampaikan risalah dan amanah, mengajak umatnya kejalan yang lurus. Setelah belai wafat kekuasaan dipegang oleh Abu Bakar As-Siddiq ra. Pada masa pemerintahannya ia banyak malapetaka, berbagaimacam kesulitan dan problem yang rumit, diantaranya memerangagi orang-orang yang murtad, yang ada dikalangan orang islam itu sendiri, memerangi pengikut Musailamah Al-Kadzdzab
Pada dasarnya, seluruh Al Qur’an sudah ditulis pada masa Nabi Saw. Hanya saja, surat dan ayatnya masih terpencar-pencar. Pada zaman Abu Bakar tahun 12 H penyebab pengumpulannya adalah pada perang Yamamah banyak dari kalangan para penghafal Al qur’an yang terbunuh.
Maka abu bakar memerintahkan untuk mengumpulkan Al qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab sahih Bukhori disebutkan bahwa, Umar bin Khattob mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Swt membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Za’id bin Tsabit. Abu bakar mengatakan pada Za’id : “Sesungguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemerlang, kami tidak meragukanmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah, maka sekarang carilah Al Qur’an dan kumpulkanlah!”. Za’id berkata : “maka aku pun mencari dan mengumpulakan dari pelepah kurma, permukaan batu, dan dari hafalan orang-orang”. Mushaf tersebut berada ditangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian dipegang oleh Hafsah binti umar. Diriwayatkan oleh Bukhori secara panjang lebar.
Sampai Ali bin Abi Thalib mengatakan : “orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al Qur’an adalah Abu Bakar, semoga allah Swt memberi rahamat kepada abu bakar karena dia lah orang yang paling pertama kali mengumpulkan kitab allah Swt.



Kenapa Al-Qur’an tidak dibukukan dalam satu mushhaf
Disini kami bertanya : " Kenapa Al-Qur'an pada masa Nabi SAW tidak dibukukan dalam satu mushhaf ? jawabnya :
Pertama : Al-Qur'an tidak diturunkan tidak sekaligus, tetapi berangsur-angsur dan terpisah-pisah, tidaklah mungkin untuk membukukan sebelum keseluruhan selesai.
Kedua : Sebagian ayat yang dimansukh, bila turun ayat yang menyatakan nasakh, maka bagaimana mungkin bis dibukukan dalam satu waktu.
Ketiga : Susunan ayat dan surat tidaklah berdasarkan urutan turunnya. Sebagian ayat ada yang turunnya pada saat terakhir wahyu tetapi urutannya diempatkan diawal surat, yang demikian tentunya menghendaki perubahan susunan tulisan.
Keempat : Masa turunnya wahyu terakir dengan wafatnya Rasulullah SAW adalah sangat dekat/ pendek. Sebagaimana terdahulu tetang Nuzul Al-Qur'an, ayat terakhir Al-Baqarah : 281, disebutkan :
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللهِ ... َ
Kemudian Rasulullah berpulang ke Rahmatullah setelah sembilan hari dari turunnya ayat tersebut. Dengan demikian masa turun waktu yang sangat singkat yang tidak memungkinkan untuk menyusun atau membukukan sebelum sempurna turunnya wahyu.
Kelima : Tidak ada motivasi yang mendorong untuk mengumpulkan Al-Qur'an menjadi satu mushhaf sebagaimana yang timbul pada masa Abu Bakar. Orang-orang Islam pada saat itu dalam kondidi yang normal, ahli Al-qur'an begitu banyak, fitnah-fitnah banyak diatasi.

Masa Utsman bin Affan
Pada zaman Utsman bin Affan pada tahun 25 H. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialeg bacaan Al Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah dan akhirnya terpecah belah.
Dalam Kitab Sahih Bukhori disebutkan, bahwa Hudzaifah bin Yaman datang menghadap Utsman bin Affan dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaan mereka pada dialeg bacaan Al Qur’an, dia katakan “Wahai amirul mu’minin, selamatkan lah umat ini sebelum mereka berpecah belah pada Kitab Allah Swt seperti perpecahan kaum yahudi dan nasrani!”. Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah “kirimkan pada kami mushaf yang engkau pegang agar kami menggantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan kami kembalikan kepadamu.” Hafsah lalu mengirimkan mushaf tersebut.
Kemudian ustman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits untuk menuliskannya kembali dan memperbanyaknya. Dari mushaf-mushaf tersebut satu salinan disimpan di Madinah dan yang lain dikirimkan di berbagai pusat islam seperti kota Kuffah, Bashroh, Damaskus, dan Mekkah. Sebelumnya utsman memeinta kepada ‘aisyah untuk menyerahkan suhuf yang ada padanya untuk dijadikan pembanding antara mushaf yang ada pada hasfah.
Setelah semua Alqur’an terkumpul dan telah disebarkan kepada kaum muslimin yang jauh dari madinah kemudian utsman menyuruh untuk memusnahkan mushaf yang berlainan dengan mushaf yang telah ditulis oleh zaid, dalam riwayat dikatakan bahwa Ali pernah berkata “jika utsman tidak melakukan hal demikian (memusnahkan mushaf yang lain) maka sesungguhnya aku akan melakukannya.
Untuk memelihara mushaf yang dikirim tersebut utsman menyertakannya dengan guru-guru yang sudah siap untuk mengajarkan hal-hal yang belum diketahui oleh umat islam lain yang jauh dari madinah, diantara mereka adalah Abdullah bin as-Saib ke makkah, al mughirah bin shihab ke suriah, amr bin abi qaish ke basrah dan Abdurrahman as-Sulami ke kufah.

Penyempurnaan Penulisan Al Qur’an setelah masa Khalifah
Mushaf ditulis atas perintah Ustman tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Ketika banyak orang non arab yang memelu islam, mereka kesulitan membaca mushaf tersebut.
Penyempurnaan tersebut antara lain yaitu :
Ubaidillah bin Ziyad dan Hajjaj bin Yusuf memerintakan seorang lelaki Persia untuk meletakkan alif sebagai pengganti dari huruf yang dibuang. Misalnya (اقلَتْ) di ganti menjadi (قَالَتْ), dan sebagainya.
Abu Al Aswad, Yahya bin Ya’mar, dan Nasr bin Ashim sebagai orang pertama kali yang meletakkan tanda titik pada mushaf usmani
Al Khalil bin Ahmad adalah orang yang pertama kali meletakkan tanda hamzah, tasydid, ar-raum, al-isymam.