Jumat, 03 Juni 2011

hadis mawdhu'

  1. Pendahuluan
Dasar hukum islam dan pedoman dalam agama islam adalah alquran dan hadis. Alquran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad melalui perantara malaikat jibril yang disamapaikan dengan jalan mutawatir, membacanya bernilai pahala, dimulai dari surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat an-nas. Sedangkan hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan.
Hadis memiliki banyak jenis yang dilihat dari berbagai sudut pandang seperti dari segi diterima atau tidaknya, dari segi ketersambungan sanad, dari segi kualitas perawinya,. Sekarang ini akan membahas hadis dari segi diterima atau tidaknya suatu hadis yang pembahasannya banyak sekali. Dsini akan membahas hadis mawdhu’, mulai dari pengertian, permasalahan dsb.
  1. Pengertian Hadis Mawdhu’
Secara bahasa merupakan bentuk isim maf’ul dari kata وضع يضع yang memilki arti sesuatu yang diletakkan, dibiarkan, menggugurkan, ditinggalkan, mengada-ngada dan dibuat-buat[1].
Secara istilah hadis mawdhu’ adalah hadsi yang tidak bersumber dari Rasulullah atau dengan kata lain suatu perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan yang kemudian dinisbatkan kepada Rasulullah oleh seorang yang pembohong dan menjadi hadis yang paling buruk dan jelek diantara hadis dhaif lainnya[2].
  1. Sejarah Awal terjadinya hadis mawdhu’
Sejak masa nabi dan masa khalifah al-rasyidun atau sebelum terjadi konflik antara kelompok pendukung Ali dan Muawiyah, hadis masih bersih dan murni, tidak ada pembauran dengan kebohongan dan perubahan. Menurut Ahmad Ammin, bahwa hadis mawdhu’sudah terjadi pada masa Rasul masih hidup sedangkan menurut ulama ahli hadis, pemalsuan hadis terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib karena disusupi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab pada saat terjadinya pertentangan antara Ali dengan muawiyah bin abi sufyan yang mengakibatkan terjadinya perpecahan sehingga muncul berbagai aliran keagamaan dan politik[3]. Dalam sejarah dikatakan bahwa yang pertama sekali membuat hadis palsu adalah syi’ah dan yang paling banyak diantara mereka adalah syi’ah rafidhah[4].
  1. Sebab-sebab terjadinya hadis mawdhu’
1.      Faktor politik
Syi’ah pertma sekali meciptakan hadis mawdhu’untuk memusuhi lawan politiknya dan perbuatan ini tidak memuliakan Ali melainkan menambah jatuhnya Alidikarenakan merek tidak puas dengan hadis yang menerangkan tentang keutamaan Ali. Karena aliran syi’ah membuat hadis untuk meningkatkan derjat mereka maka aliran-aliran lain pun membuat hadsi tentang aliran mereka dan keutamaan pemimpin mereka[5].
2.      Dendam musuh islam
Islam tersebar kesluruh penjuru dunia setelah meruntuhkan dua kerajaan besar yaitu romawi dan Persia sehingga mereka tidak mampu melawan secar terang-terangan maka mereka meracuni islam dengan memasukkan hadis palsu yang dibuat oelh kaum zindik.
3.      Perselisihan mazhab dan ilmu kalam
Pengikut mazhab berani melakukan pemalsuan hadis dikarenakan dorongan sifat fanatic dan ingin menguatkan mazhabnya masing-masing. Contohny adalah hadis tentang mengangkat tangan ketika salat[6].
من رفع يديه فى الصلاة فلا صلاة له
“barang siapa yang mengangkat tangannya ketika shalat, maka shalatnya tidak sah”
4.      Membangkitkan gairah beribadah tanpa mengerti apa yang dilakukan
Banyak ulama yang mermbuat hadis palsu dikarenakan mereka ingin mendekatkan diri kepada Allah dan mereka menganggap hal tersebut adalah usaha yang benar. Mereka mengatakan “ kami berdosa semata-mata karena untuk menjunjung tinggi nama Rasulullah saw dan bukan sebaliknya”
Diantara mereka adalah maisarah bin abdi rabbihi ibnu hibban telah meriwayatkan didalam kitabnya ad-Dua’afa dari ibnu mahdi berkata, ‘aku bertanya kepada maisarah bin abdi rabbaihi: dari mana engkau mendatangkan hadis-hadis seperti ini, barangsiapa yang membaca ini maka ia akan memperoleh itu? Ia menjawab: ‘aku sengaja membuatnya untuk memberi dorongan kepada manusia’[7].
5.      Cerita dan nasehat
Sebagian tukang cerita tidak hanya memiliki keinginan untuk mengumpulkan orang, untuk itu mereka membuat hadis palsu agar orang tertarik dan membuat mereka lega, menggerakkan keinginan mereka dan memberi harapan bagi yang mendengarkannya. Selain itu mereka juga mempunyai keinginan untuk mencari penghidupan dari cerita dan nasehat yang mereka palsukan tersebut. Salah satu contoh riwayat tentang kedustaan para tukang cerita adalah yang diriwayatkan oleh abu ja’far muhammad ath-tahyalisyiy,
من قال لااله الا الله خلق الله من كل كلمة طيرا منقره من ذهب و رشه من مرجان
“Barang siapa yang mengucapkan kalimat La Ilaha Illallah, maka Allah akan menciptakan satu burung dari setiap katanya, yang paruhnya dari emas dan bulunya dari marjan”[8].

6.      Lobby dengan para penguasa
Para penjilat berusaha untuk mendekati para pemimpin pada suatu massa dengan cara memalsukan hadis untuk menyenangkan hati para penguasa dan mencari legitimasi mereka, bahwa ungkapan itu hadis Rasulullah saw. Misalnya yang dilakukan Ghiyats bin Ibrahim an-Nakha’i ketika masuk ke istana al-Mahdi yang sedang main burung merpati. Ghiyats berkata Rasulullah saw bersabda:
لاسبق الا نصل او خف او حافر او جناح
“Tidak ada perlombaan kecuali pada anak panah atau unta atau kuda atau pada burung”[9].
  1. Hukum memalsukan dan meriwayatkan hadis mawdhu’
Hukum memalsukan hadis menurut para ulama adalah haram secara mutlak, tidak ada perbedaan pendapat diantara kaum muslim. Menciptakan hadis mawdhu’ sama halnya dengan mendustakan Rasulullah karena perbuatan itu dari penciptaan sendiri yang kemudian disandarkan kepada Rasulullah. Rasulullah sendiri telah memberikan ancam keras kepada siapa saja yang memalsukan hadis:
من كذب على متعمدا فليتبوء مقعده من النار
“barang siapa yang mendustakanku dengan sengaja, maka hendaklah bersiap-siap menempatkan dirinya di neraka”[10].
Mereka tidak membolehkan meriwayatkan sedikitpun hadis palsu, baik berkenaan dengan kisah, tarhib, targhib, hukum-hukum ataupun tidak, karena Rasullah bersabda:
من حدث عنى بحديث يرى انه كذب فهو احد الكاذبينٌ
“siapa saja yang meriwayatkan dariku sebuah hadis dan terlihat bahwa hadsi itu dusta, maka ia juga termasuk satu diantara para pendusta” (HR. Muslim)[11].
  1. Tanda-tanda hadis mawdhu’
Tanda-tanda hadis mawdhu’ hanya dapat diketahui oleh para ahli hadis yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang hadis, cukup muthala’ah, tajam otaknya, kuat fahamnya serta mempunyai kebiasaannya yang kuat. Diantara tanda-tandanya adalah[12]:
1.      Hadisnya mengandung susunan yang kacau yang tidak mungkin disabdakan Nabi.
2.      Mengandung perkataan yang patut mendapat ejekan
3.      Isinya bertentangan dengan ketetapan agama yang kuat dan terang
4.      Adanya penyaksian yang sah yang menunjukkan kepalsuannya.
5.      Nyata-nyata bertentangan dengan Alquran
Ciri-ciri yang terdapat pada sanad antara lain adalah pengakuan dari sipembuat itu sendiri, qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadis mawdhu’, qarinah yang berpautan dengan tingkah laku.
Ciri-ciri dari segi matannya adalah maknanya bertentangan dengan Alquran dan hadis mutawatir, dengan ijma’ dan dengan logika akal sehat[13], lemah susunan lafal dan maknanya, rusak maknanya, menyalahi realita sejarah, hadis sesuai dengan mazhab perawi, mengandung pahala yang berlebihan bagi amalan yang kecil, sahabat dituduh menyembunyikan hadis[14]
  1. Upaya ulama dalam menanggulangi hadis mawdhu’
Usaha para ulama dalam memelihara sunnah dan membersihkannya dari pemalsuan hadis, ialah:
1.      Mengisnadkan sanad
2.      Meningkatkan perwalatan mencari hadis dari suatu kota ke kota yang lain untuk menemui para sahabat yang meriwayatkan hadis
3.      Mengambil tindakan kepada para pemalsu hadis
4.      Menjelaskan tingkah laku rawi-rawinya, perawi yang tidak boleh diambil hadisnya adalah orang yang mendustakan Rasulullah, orang yang sering berdusta, ahli bid’ah, orang zindiq, fasik.
5.      Membuat ketentuan-ketentuan umum tentang klasifikasi hadis
6.      Membuat ketentuan-ketentuan untuk mengetahui ciri-ciri hadis mawdhu’[15].


  1. Kitab-kitab hadis mawdhu’
1.      Al-Maudhu’at, karangan ibn al-Jauzi-beliau paling awal menulis dalam ilmu ini
2.      Al-La’ali al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhua’ah, karya as-Suyuthi
3.      Tanzihu asy-Syari’ah al-Ma’rufah ‘an al-Ahadits asy-Syani’ah al-Maudhu’ah, karya Ibnu ‘Iraq al-Kittani
4.      Sisilah al-Ahadits adh-Dha’ifah, karya al-Albani[16].
  1. Penutup
Kesimpulan dari makalah ini adalah bahwa hadis mawdhu’ itu adalah hadis yang paling rendah derajatnya karena dia adalah hadis yang dibuat sendiri dan disandarkan kepada rasulullah dengan jalan berdusta atas nama rasulullah. Banyak faktor yang mendorong seseorang dalam memalsukan hadis baik itu untuk kebaikan maupun untuk mencari keuntungan pribadi namun apapun yang dilakukan tersebut tetaplah salah.
Demikian makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas syarat ujian akhir semester, pemakalah kira ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam menyampaikan maksud dari pembahasan tentang hadis mawdhu’ ini. Pemakalah minta kritik dan sarannya yang membangun untuk bisa membuat makalah yang lebih baik lagi untuk selanjutnya.


Daftar Pustaka

Hasan, A. Qadir, Ilmu Mushtalah Hadits, Bandung: cv. Diponegoro, 2007
Al-Mas’udi, Hafizh Hasan, Minhatu al-Mughits, penerjemah, Fadlil Sa’id an-Nadwi, Surabaya, al-Hidayah,
An-Nawawi, Imam, Dasar-dasar Ilmu Hadis, penerjemah Ali Mustafa Ya’qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009
Khan, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2008
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj, Ushul al-Hadits, Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, 2007
Al-qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushtalahul Hadits, Bandung: PT. Alma’arif
Ash-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, penerjemah tim Pustaka Firdaus Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. RajaGrafindo persada, 2008
Thaha, Mahmud, Ilmu Hadis Praktis, penerjemah, Abu Fuad, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010


[1] Khan, Abdul Majid, Ulumul Hadis ,Jakarta: PT. Amzah 2008. h. 199
[2] Ibid.
[3] Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj, Ushul al-Hadits, Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, 2007. h. 353
[4] Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008. h. 181
[5] Khan, Abdul Majid, Ulumul Hadis, h. 201
[6] Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushtalahul Hadits, Bandung: PT. Alma’arif. 1974 h. 180
[7] Thaha, Mahmud, Ilmu Hadis Praktis, penerjemah, Abu Fuad, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010. h. 85
[8] Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj, Ushul al-Hadits, h. 360
[9] Khan, Abdul Majid, Ulumul Hadis, h. 206
[10] Ibid. 207
[11] Al-khatib, Muhammad ‘Ajaj, Ushul al-Hadits, h. 364
[12] Hasan, A. Qadir, Ilmu Mushtalah Hadits, Bandung: cv. Diponegoro, 2007. h. 122
[13] Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushtalahul Hadits, h. 169-173
[14] Khan, Abdul Majid, Ulumul Hadis, h. 210-213
[15] [15] Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushtalahul Hadits, h. 181-183
[16] Al-Qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005, h. 149