Rabu, 06 April 2011

HADITS MUDRAJ dan MAZID

MUDRAJ (sisipan)

Pengertian
Mudraj berasal dari kata fi`il adraja yang berarti yang termasuk, tercampur, atau yang dicampurkan. Sedangkan menurut istilah adalah sebuah hadis yang asal sanadnya berubah atau matannya tercampur dengan sesuatu yang bukan bagiannya tanpa ada pemisah. Sedangkan menurut istilah Ilmu Hadis, mudraj adalah seorang rawi menyisipkan pernyataannya sendiri kedalam satu matan hadis yang diriwayatkannya tanpa memisahkan antara matan hadis dan ucapan rawi tersebut sehingga oleh rawi dibawahnya dikira bagian dari matan hadis Nabi.

Macam-macam hadits mudraj
  1. Mudraj pada Sanad
Banyak sekali kemungkinan terjadi, misalnya:
  1. sekelompok jamaah meriwayatkan sautu hadits dengan beberapa sanad yang berbeda, kemudain diriwayatkan oleh seorang perawi dengan menyatukan ke dalam satu sanad dari beberapa sanad tesebut tanpa menerangkan ragam dan perbedaan sanad.
  2. Seseorang meriwayatkan sebuah matan yang ditak sempurna, kesempurnaannya ia temukan pada sanad yang lain. Kemudian ia meriwayatkannya dengan menggunkan sanad yang pertama.
  3. Seseorang mempunyai dua matan yang berbeda dan dua sanad yang beberda pula, kemudian ia meriwayatkannya dengan salah satu sanadnya saja
  4. Seorang perawi menyampaikan periwaytan, pada saat menyampaikan terhalang oleh suatu gangguan, kemudian berbicara dari dirinya sendiri. Diantara pendengarnya ada yang mengira pembicaraan tersebut adalah matan hadits, kemudian dia meriwayatkannya.
Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi dari jalan Ibnu Mahdi dari ast-Tsauri dari Wasil al Ahdab dari Mansur al a’masy dari Abu Wa’il dari Amer bin Syurahbil dari Ibnu mas’ud r.a, katanya aku telah bertanya kepada Rasulullah tentang dosa yang paling besar, kataku: “mana dosa yang paling besar?”. Nabi menjawab:”engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Allah yang menciptakan engkau”, aku bertanya: “kemudian apa?”. Nabi menjawab “engkau membunuh anak engkau karena khawatir akan makan dia bersama engkau”. Aku bertanya pula: “kemudian apa?”. Nabi menjawab: :engkau menzinai istri tetangga engkau”.
Dalam sanad ini terdapat sanad yang disisipkan yaitu Amer bin Syurahbil, sebenarnya Abi Wail menerima langsung dari Ibnu Mas’ud r.a dengan tidak memakai perantara Amer ibn Syurahbil.

2. Mudraj pada Matan
Pada umumnya mudraj pada matan merupakan penjelasan ataupun keterangan Rawi terhadap lafadz-lafadz yang gharib (asing) dari matan hadis Nabi. Mudarj pada Matan adalah, sebagian perawi telah memasukkan perkataannya dalam hadis Rasulullah saw. Baik itu pada awal hadis, pertengahan ataupun terakhir. Sehingga menimbulkan dugaan para pendengar bahwa itu adalah bagian dari hadis Nabi.
a. mudraj pada awal hadis
Contohnya hadis tentang wudhu`:

ما رواه الخطيب من رواية أبي قطن وشبابة عن شعبة عن محمد بن زياد عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “أسبغوا الوضوء، ويل للأعقاب من النار”

“Diriwayatkan oleh Khatib Al Baghdadi, Riwayat Abu Qathan dan Syababah dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziad dari Abu Hurairah berkata Rasululllah saw. Telah bersabda sempurnakanlah wudhumu, neraka wail bagi tumit-tumit (milik orang-orang yang tidak membasuh dengan sempurna ketika berwudhu)".

Kata-kata أسبغوا الوضوء "Sempunakanlah wudhumu" pada hadis tersebut bukanlah sabda Nabi, melainkan kata-kata Abu Hurairah. Dan kata-kata tersebut oleh penerima riwayat dikira bagian dari matan hadis Nabi.

Periwayat hadis tersebut ialah Khatib Al Baghdadi yang menerimanya dari dua sanad, yakni dari sanad Abu Qathan dan sanad Syababah menurutnya kedua periwayat itu ragu-ragu apakah kata-kata tersebut merupakan bagian dari sabada Nabi ataukah kata-kata dari Abu Hurairah. Dalam hal ini al-Khatib telah meneliti dan menjelaskan bahwa hadis yang diterimanya mengandung idraj.

Dan ini dapat dibuktikan dengan adanya riwayat yang semakna yaitu hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Adam dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziad dari Abu Hurairah dengan lafadz:

عن أدم عن شعبة عن سعيد بن زياد عن أبي هريرة قال: أسبغوا الوضوء فإن أبا القاسم صلى الله عليه وسلم قال: “ويل للأعقاب من النار”


“Dari Adam dari Syu`bah dari Muhammad bin Ziad dari Abi Hurairah berkata: sempurnakanlah wudhu`mu karena sesungguhnya Abu al-Qasim SWA telah bersabda: Neraka Wail bagi tumit-tumit (milik orang-orang yang tidak memebasuh dengan sempurna ketika berwudhu". (HR Bukhari)


b. mudraj pada pertengahan hadis

Contoh : Hadis Aisyah tentang permulaan turunnya wahyu:

حدثنا يحي بن بكير قال: حدثنا الليث عن عقيل عن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عائشة أم المؤمنين أنها قالت كان أول ما بدئ به رسول الله صلى الله عليه وسلم من الوحي الرؤيا الصالحة في النوم. فكان لا يري رؤيا إلا جاءت مثل فلق الصباح ثم حبب إليه الخلاء فكان يخلو بغار حراء يتحنث فيه (وهو التعبد) الليالي أولات العدد قيل أن ينزع إليه…”


Dari Aisyah Ummul Mukminin, dia berkata. Wahyu yang pertama kali disampaikan kepada Rasulullah saw adalah mimpi yang benar dalam tidur, beliau tidak melihat mimpi kecuali beliau menyaksikan sesuatu seperti pagi hari. Kemudian ditanamkan rasa cinta dalam dirinya utnuk berkhalwat di Gua Hira, beliau berkhwalwat disana untuk bertahannus yakni beribadah… didalamnya selama beberapa malam sebelum kembali kepada keluarganya…”

وهو التعبد "yakni beribadah" kata-kata ini adalah Idraj kata-kata Aisyah, merupakan penafsiran dari kata yatahannast yang oleh penerima riwayat yakni Al-Zuhry disertakan dalam matan hadis.


c. Mudraj pada akhir hadis
Contohnya: Hadis Abu Hurairah tentang hamba yang baik dalam beribadah;

عن أبي هريرة قال صلى الله عليه وسلم : للعبد المملوك أجران، والذي نفسي بيده لو لا الجهاد فى سبيل الله والحج وبر أمي لأحببت أن أموت وأنا مملوك


Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah saw telah bersabda : Hamba sahaya mendapat dua pahala demi Dzat dan jiwaku ada ditangannya, seandainya bukan karena jihad fi sabilillah, haji dan berbakti kepada Ibuku, niscaya aku ingin mati dalam keadaan menjadi hamba sahaya.

Awal kata dari hadis diatas adalah sabada Nabi, kemudian selebihnya sampai akhir hadis itu adalah Idraj. Karena mustahil nabi mengharapkan dirinya menjadi hamba sahaya sementara prediket hamba itu tidak relevan dengan perediket kenabian.

Maka menurut Nuruddin It`r kata-kata والذي نفسي بيده sampai akhir hadis itu adalah Idraj dari perkataan Abu Hurairah.

c) Hukum Hadis Mudraj

Mudraj termasuk salah satu hadis dhaif, karena memasukkan dengan sesuatu yang bukan hadis, seandainya kata-kata yang di Idraj itu shahih atau hasan karena boleh jadi datang melalui sanad yang shahih, hal itu juga tidak mengubah ke-dhaifannya karena sebagai sesuatu yang bercampur dalam sebuah hadis yang padanya terjadi Idraj. Padahal jelas bahwa ia bukan bagian dari hadis itu.

Adapun Idraj yang terjadi disebabkan kesalahan dan kelupaan periwayat yang tidak tercela, kecuali ia banyak melakukannya, maka yang demikian merupakan kecacatan kedhabitannya.

Sedangkan Idraj yang terjadi karena disengaja, maka Ijma` ulama ahli hadis dan fiqh menyatakan sebagai perbuatan haram. Adapun jika Idraj yang dimaksudkan karena sebagai penafsiran atau penjelasan dari kata-kata yang asing maka hal itu dibolehkan.


Tidak bisa dinilai sebagai idraj sampai ada bukti, sehingga hukum asalnya adalah dianggap bagian dari matan hadits. Hadits mudraj diketahui melalui beberapa jalan :

a. Terdapat Hadits (yang terpisah) dalam riwayat lain.
b. Adanya penetapan terhadap Hadits tersebut dari para Imam.
c. Pengkuan rawi itu sendiri bahwa dia telah menyusupkan perkataan.
d. Kemustahilan bahwa hal itumerupakan ucapan Rasulullah SAW.

MAZID (tambahan)

Kata Ziyadah menurut bahasa berarti tambahan, sedangkan menurut istilah ilmu hadis Ziyadah pada matan ialah tambahan lafadz ataupun kalimat yang terdapat pada matan, tambahan itu dikemukakan oleh rawi tertentu, sedangkan rawi yang lain tidak mengemukakannya.

Macam-macam Ziyadah

Menurut Ibn Shalah Ziyadah ada tiga macam, yaitu:
1. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang Tsiqah yang isinya bertentangan/menyelisihi dengan yang dikemukakan oleh periwayat-periwayat lain yang juga Tsiqah. Ziyadah tersebut ditolak.
2. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqah yang isinya tidak bertentangan dengan yang dikemukakan oleh periwayat-periwayat lain yang juga Tsiqah. Ziyadah tersebut diterima (saling melengkapi).
Contoh :
Dari Al A'raj, dari AbuHurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda "Apabila anjing minum di bejalan salah seorang dari kamu maka hendaklah ia cuci bejana itu tujuh kali" (HR Muslim)
Dari Abi Razin dan Abi Shalih dari Abu Hurairah,ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, "Apabila anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka hendaknya ia buang isinya, kemudian hendaklah ia mencucinnya tujuh kali" (HR Muslim)
Dari Abdullah Bin Mughaffal ia berkata, "....dan Nabi bersabda, "Apabila anjingmenjilat bejana, maka hendaklah kamu cuci dia tujuh kali dan hendaklah kamu lumurkan bejana itu yang kedelapan dengan pasir" (HR Muslim)
Ketiga hadis diatas semua rawinya adalah tsiqoh dan sama kuat, karena tambahan dari masing-masing riwayat tidak bertentangan maka semuanya diterima (saling melengkapi), maka makna gabungan dari ketiga hadis tersebut menjadi : Apabila seekor anjing menjilat atau minum dari suatu bejana, hendaklah dibuang isinya, lalu dicuci dengan air tujuh kali dan yang ke delapan dengan dicampur tanah".

3. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqah berupa sebuah lafadz yang mengandung arti tertentu, sedangkan para periwayat lain yang tsiqah tidak mengemukakannya, Ibn Shalah tidak mengemukakan penjelasan tentang kedudukan Ziyadah yang ketiga ini.

Jika tambahan itu datang dari rowi yang tidak tsiqoh. Maka tidak diterima dikarenakan riwayat rowi tersebut jika sendirian itu tidak diterima, maka tambahan yang dia berikan pada riwayat orang lain lebih layak untuk ditolak.

Jika datang dari rowi yang tsiqoh : Jika bertentangan dengan riwayat lain yang jalannya lebih banyak atau periwayatannya lebih tsiqoh, maka tidak diterima dikarenakan riwayat ini termasuk hadits yang syadz. Misal :Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dalam Al Muwattho bahwasannya Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma jika memulai sholat, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu. Abu Daud berkata, “Tidak disebutkan ‘beliau mengangkat keduanya lebih rendah dari itu’ oleh seorang pun selain Malik menurut sepengetahuanku.”

Dan riwayat yang shohih dari Ibnu Umar radhiallahu ’anhuma, marfu’ kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan pundaknya jika memulai sholat, dan ketika ruku’, ketika bangkit dari ruku’ tanpa dibeda-bedakan.

Jika tidak bertentangan dengan rowi selainnya maka diterima, dikarenakan didalamnya terdapat tambahan ilmu. Misal:Hadis Umar radhiallahu ’anhu bahwasannya beliau mendengar Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu sampai selesai dan sempurna kemudian mengucapkan:’ Asyhadu allaa ilaaha illallah , wa anna muhammadan ’abdullahi wa rasuuluh’ melainkan dibukakan baginya pintu syurga yang berjumlah delapan, dia boleh masuk dari pintu mana yang dia inginkan.”

Hadits ini telah diriwayatkan oleh Muslim dari dua jalan periwayatan. Pada salah satu dari keduanya terdapat tambahan (وحده لا شريكله) setelah (إلاّ اللّه).

2 komentar:

  1. Sangat membantu saya dalam memahami tugas kuliah saya... makasih

    BalasHapus
  2. salam...cadangan saya supaya diletakkan sekali sumber rujukan.

    BalasHapus